Warga Desa Porelea, Kabupaten Sigi Bertahan Hidup di Tengah Ekonomi Berbiaya Tinggi

Desa Porelea, kabupaten sigi, masyarakat adat, program pemerintah, kearifan lokal,

Warga Desa Porelea, Kabupaten Sigi Bertahan Hidup di Tengah Ekonomi Berbiaya Tinggi

Tinggal di salah satunya wilayah paling menawan di negeri ini tidak merintangi warga dusun untuk beraktivitas setiap hari, walau harus melawan maut. Akan tetapi, interferensi pemerintahan dibutuhkan agar semakin tingkatkan kesejahteraan mereka.
 

 

Dusun Porelea yang terasing, di area Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi tengah, ialah rumah untuk sebagian orang paling kuat dan ulet di Bumi. 

 

Pengunjung perlu tempuh perjalanan tiga jam dengan mobil dari ibukota propinsi Palu ke selatan untuk capai daerah Gimpu. Dari Gimpu, salah satu langkah untuk capai Polerea dengan sewa ojek (ojek). Dusun ini berada sekitaran 600 mtr. di permukaan laut di Pegunungan Kyou dan salah satu akses jalan ialah jalan berbatu yang sempit. 

 

Jalan akses itu sebagai lajur ekstrim dan mematikan. Lebarnya cuma sekitaran 80 cm, lumayan lebar untuk dilewati dua sepeda motor, tetapi benar-benar sempit ingat jalan yang menggantung di pinggir tebing curam. 

 

Jalannya berbintik-bintik dengan batu-batuan besar, lubang, dan lumpur, dan menjadi sangat licin sesudah hujan. Setiap waktu sepanjang perjalanan, bila sopir hilang fokus dan tergelincir ke tebing, karena itu kematian pasti menanti. Bila keruntuhan tidak membunuhmu, karena itu batu-batuan besar di sejauh tebing akan membunuhmu. 

 

Sesudah satu 1/2 jam berkendaraan, pengunjung akan datang di pos pengecekan pertama perjalanan ke arah Porelea. Di sini ada jembatan menggantung ringkih yang dibuat dari kayu yang menggantung sekitaran 20 mtr. di atas Sungai Koro yang berbatu dan deras. Umumnya, di ujung lain jembatan, ada pramuka dari Porelea yang hendak memakai sepeda motornya secepat-cepatnya kembali lagi ke dusun untuk memberitahu warga yang tinggal di situ mengenai kehadiran pengunjung. 

 

Sesudah jembatan, jalan akan makin sempit dan beresiko karena tebing makin terjal dan di saat yang serupa, sopir ojek harus hadapi beberapa ratus kelokan tajam yang mempunyai potensi membuat mereka dan penumpangnya tergelincir sampai meninggal.

  

"Sepeda motornya harus diubah besar untuk melalui jalan ini," kata Andi, seorang tukang ojek yang sudah mengantarkan pengunjung ke Porelea sepanjang 10 tahun akhir. 

 

Ongkos sekali jalan ke Porelea ialah Rp 200.000 (US$13,77). Itu ialah ongkos yang terlampau murah ingat bahaya yang perlu ditemui sopir untuk sampai ke dusun. 

 

Sesudah tempuh perjalanan melawan maut sepanjang dua jam dari Gimpu, pengunjung pada akhirnya bisa datang di Porelea. Di sini, warga di tempat akan menegur beberapa pengunjung dengan tarian tradisionil namanya Rego. Ini ialah tarian untuk banyak peluang. Itu dapat berbentuk tarian penyambutan, tarian perpisahan atau tarian upacara untuk orang mati. Dikatakan dengan bahasa kuno yang warga di tempat sendiri tidak berani mengartikannya karena dipandang sakral. 

 

Mekanisme ekonomi di dusun terasing itu benar-benar tergantung pada pertanian. Semua warga di tempat bekerja sebagai petani dan salah satunya komoditas khusus mereka ialah kopi. 

 

Mereka biasa jual kopi berbentuk biji mentah, tapi sekian tahun lalu, sesudah terima beberapa training kewiraswastaan dari instansi swadaya warga yang berbasiskan di Sulawesi namanya Karsa Institute, mereka sukses meningkatkan kemampuan untuk produksi kopi bubuk.. 

 

"Yang dahulu terjadi di sini benar-benar lama ialah mereka jual biji kopinya dengan benar-benar murah ke warga yang tinggal di kaki gunung. Selanjutnya mereka beli kopi bubuk pada harga yang lebih mahal untuk konsumsi setiap hari," tutur Budi, fasilitator dari Karsa Institute, ke The Jakarta Post. 

 

Budi menambah, konsumsi kopi berat menjadi adat di Porelea semenjak awalnya 1900-an saat penjajah Belanda datang di dusun itu dan mengenalkan biji kopi ke warga dusun. Sekitaran 100 rumah tangga di Porelea biasa habiskan Rp 12 juta /bulan untuk beli kopi bubuk yang dibuat dari biji kopi yang dibuat di dusun Grimpu. 

 

"Tetapi saat ini, mereka dapat menghasilkan kopi bubuk sendiri untuk dimakan sendiri. Bila masih tetap ada tersisa, mereka akan turun untuk menjualnya ke pemilik warung kopi di Gimpu," paparnya.

 

Warga di tempat jual kopi mereka ke pemilik cafe lokal di Gimpu pada harga sekitaran Rp 50.000 per kg. Menimbang bukti jika mereka harus lewat jalan beresiko yang serupa untuk sampai ke Gimpu, lumrah untuk menjelaskan jika cap harga ini tidak memberikan mereka keuntungan yang pantas.

  

Kopi tidak punya pengaruh berarti pada mata pencarian warga lokal di Porelea karena rendahnya keproduktifan. Warga di tempat masih menghasilkan kopi bubuk secara benar-benar tradisionil memakai penggilingan manual. Paling-paling, satu rumah tangga di Porelea cuma dapat hasilkan di antara satu sampai 5 kg kopi untuk dipasarkan /bulan.

  

Selainnya kopi, warga Porelea menanam dan jual kakao semenjak tahun 1970-an. Harga komoditas ini cuma di antara Rp 18.000 dan Rp 20.000 per kg dan seperti kopi, kakao pun tidak dibuat dengan jumlah yang lumayan besar untuk tingkatkan ekonomi lokal. 

"Kakao masih dipasarkan mentah karena warga belum meningkatkan kemampuan untuk membuat jadi cokelat," kata Budi. 

 

Dengan rendahnya nilai komoditas khusus Porelea, masyarakat benar-benar tergantung pada produksi beras untuk logistiknya.

  

"Mereka tidak jual beras mereka. Semua produksi beras dipakai sendiri untuk konsumsi," kata Anto, aktivis lain dari Karsa. 

 

Pimpinan suku senior di Porelea, Abed Nego, menjelaskan dusun dan masyarakatnya benar-benar menanti pemda dan pemerintahan pusat untuk memulai memerhatikan keperluan menekan akan infrastruktur yang pantas di daerah Pipikoro.

 

"Mayoritas jalan yang menyambungkan kami dengan Gimpu dibuat sendiri oleh rakyat kami tanpa kontribusi dari pemerintahan," kata Abed. 

 

"Jalannya, terang, jauh dari cukup buat menolong kami mengusung beberapa barang kami secara efektif ke beberapa orang di luar dusun dan daerah kami."


Cerita ini diterjemahkan secara bebas dari sumber aslinya yaitu dari www.jakartapost.com 


LihatTutupKomentar
Cancel