Cara Bertani Masyarakat Adat Kasepuhan di Cirompang, Beradaptasi dengan Ubah Jadwal Tanam

masyarakat adat kasepuhan, kabupaten lebak, program peduli, desa cirompang, kecamatan sobang, cara bertani kasepuhan
Design @PeduliAdat
LEBAK, KOMPAS — Cuaca yang cenderung tak menentu akibat perubahan iklim, sejauh ini bisa diadaptasi masyarakat adat Kasepuhan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Secara reguler, mereka mengubah jadwal tanam padi dan mengelola hasil panenan dengan sistem lumbung.
Masyarakat adat Kasepuhan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, menggelar Pare Gede, Sabtu (24/10). Ini menandai penyimpanan hasil panen ke dalam lumbung untuk ketahanan pangan.

Masyarakat adat yang tinggal di sekitar Taman Nasional Halimun-Salak itu tak pernah kekurangan pangan. Bahkan, di tengah kemarau panjang, mereka menggelar festival Pare Gede, Sabtu-Minggu lalu. Acara itu bagian dari prosesi menyimpan padi hasil panen sebagai cadangan untuk ketahanan pangan hingga setahun mendatang.

“Setiap tahun, Olot (pemimpin adat) menentukan waktunya kami harus tanam padi serta situasi apa yang harus diantisipasi. Misalnya, tahun ini diantisipasi bakal kemarau panjang sejak tahun lalu. Dengan sistem ini, kami tak pernah gagal panen,” kata Jaro (Kepala Desa) Cirompang, Sarinun, Minggu (25/10).

Cirompang salah satu desa adat Kasepuhan yang berpenduduk 518 keluarga atau 1.551 jiwa. Sebagian besar penduduk di desa itu petani pemilik lahan (42 persen), buruh tani (38 persen), dan sisanya buruh serabutan serta gurandil(penambang emas).

Olot Amir mengatakan, setiap tiga tahun ia menggeser jadwal tanam padi selama tiga bulan sepuluh hari. Jika tahun ini musim tanam dilakukan awal Oktober, tahun 2018 jadwal tanam akan bergeser menjadi tanggal 10 Desember. Namun, jadwal ini bisa juga berubah sesuai dinamika yang ditemui dari hasil observasinya.

Untuk memutus siklus hama, warga diminta menanam padi serentak, demikian juga saat panen. Setiap warga wajib menanam padi besar (pare gede) dengan berbagai varietas lokal, yang umumnya bisa dipanen setelah enam bulan masa tanam. Setelah panen pare gede, sebagian warga menanam padi pendek yang memiliki masa panen tiga bulanan.

Desa Cirompang, menurut Manajer Bidang Pemberdayaan Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Rojak Nurhawan, memiliki setidaknya 20 jenis padi lokal. “Hampir semua masyarakat adat Kasepuhan memiliki padi lokal hasil pemuliaan secara turun-temurun,” katanya. “Bahkan, di Kasepuhan Citorek ada sekitar 30 varietas padi lokal.”

Sistem lumbung
Sarinun mengatakan, warga Kasepuhan memiliki dua jenis lumbung padi (leuit). Pertama leuit pribadi, lumbung milik keluarga yang berfungsi menyimpan cadangan pangan sepanjang tahun. Jika cadangan keluarga ini habis, warga bisa meminjam padi ke leuit komunal yang disebut “si Jimat.”

Menurut Sarinun, warga yang meminjam bisa mengembalikannya setelah panen atau jika tidak mampu, bisa menggantinya dengan itik, ayam, atau uang senilai padi ini. Selain sebagai cadangan pangan bagi warga Kasepuhan selama musim paceklik, leuit komunal juga bisa digunakan saat ada pesta adat.

Dengan sistem kalender tanam dan lumbung, menurut Rojak, masyarakat adat Kasepuhan terbukti mampu bertahan dari perubahan iklim. Ironisnya, masyarakat Kasepuhan saat ini justru menghadapi ancaman perluasan Taman Nasional. Sejak 2003, perluasan Taman Nasional telah mencaplok kawasan adat yang sudah ditinggali masyarakat Kasepuhan dari generasi ke generasi.

Data RMI, terdapat 11 kasepuhan dari 58 di Kabupaten Lebak, termasuk di Desa Cirompang, yang wilayah adatnya diklaim masuk dalam wilayah kelola Taman Nasional. Setidaknya, ada 14.138 hektar area Kasepuhan tumpang tindih dengan hutan negara.

“Saat ini, dengan dukungan sejumlah lembaga, termasuk Kemitraan, masyarakat adat Kasepuhan berupaya agar tanah dan hak adat mereka diakui negara,” katanya. (AIK)
Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/10/27/Beradaptasi-dengan-Ubah-Jadwal-Tanam
LihatTutupKomentar
Cancel